Chaughtatgyi Pagoda - dengan Buddha berbaring |
Keinginanku untuk kembali mengunjungi negeri Myanmar akhirnya terkabul. Tahun 2014 saya pernah singgah mengunjungi Yangon dan ibukota Nay Pyi Taw dalam suatu kunjungan bisnis. Kunjungan itu sangat singkat tapi aku mengingat keindahan tempat-tempat dan aku berjanji akan datang lagi kalau ada kesempatan.
Dengan partnerku, kami memutuskan pergi ke negeri yang indah ini pada pertengahan bulan January 2018 setelah hiruk pikuk liburan akhir tahun selesai. Periode itu sangat ideal karena cuaca di sana cenderung sejuk. Kami pernah kewalahan ketika pergi ke Kamboja pada bulan Juni yang minta ampun panasnya.
Myanmar, seperti negeri-negeri Indochina yang lain selalu mempesona. Keindahan pemandangan sungai dan danau selalu menarik perhatianku. Berbagai pagoda dan kuil yang dibangun dengan sangat indah memberikan kesan akan masyarakat yang religius.
Kami berangkat dengan penerbangan Airasia malam hari ke Kuala Lumpur dan transit selama 7 jam di terminal KLIA 2. Agak melelahkan tapi kami melewatinya dengan senang. Ah... liburan memang selalu menyenangkan. Kami tiba di Yangon tempat pertama yang kami kunjungi sekitar jam 8 pagi dan kami langsung menjelajahi kota ini tanpa merasa lelah.
Dalam perjalanan ini kami memutuskan untuk mengunjungi 3 tujuan utama. Waktu kami hanya seminggu dan kami ingin meluangkan waktu 1-2 hari penuh di tiap tempat.
Kota yang pertama adalah Yangon yang merupakan kota terbesar dan pernah menjadi ibukota hingga tahun 2006, sebelum pindah ke Nay Pyi Taw. Kota ini menyimpan banyak sisa sejarah dan ini bisa di lihat dari berbagai bangunan bergaya kolonial yang tersebar di sekitar downtown menghadap lapangan Maha Gandoola garden yang mirip alun-alun. Di antaranya gedung City Hall, gedung Aya Bank, dan gedung pengadilan. Kota Yangon memiliki beberapa pagoda besar dan kami mengunjungi 2 diantaranya yaitu Shwedagon Pagoda yang merupakan yang terbesar dan megah, dan Chaughtatgyi Pagoda yang merupakan pagoda dengan Buddha yang berbaring yang terbesar di dunia. Kami juga sempat mengunjungi daerah uptown yang kelihatan lebih mewah daripada daerah downtown. Kami meluangkan waktu ke danau Inya dan sempat melihat rumah kediaman Mrs. Aung San Suu Kyi yang terletak di tepi danau. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi dan sepertinya dijaga ketat. Kami bisa melihat rumah tersebut dari seberang danau dan kesannya rumah tersebut sangatlah damai dan sepi.
Shwedagon Pagoda, keindahan dan kemegahan di waktu senja |
Dari Yangon kami pergi ke Bagan dengan bus malam VIP. Lama perjalanan sekitar 10 jam dan memang cukup meletihkan. Kami duduk di row ke dua dan bus berangkat jam 20.30 dari terminal bus utama yang jaraknya sekitar 45 menit naik taxi dari pusat kota Yangon. Tempat duduk bus dapat direbahkan sedikit dan lumayan tubuh bisa berbaring. Kami stop sebentar di suatu restoran untuk menikmati nasi ayam. Biaya naik bus ini 20000 kyat atau sekitar IDR 200k per orang.
Kami tiba di Bagan pukul 5 kurang sedikit. Awalnya kami berencana naik taxi ke hotel dan ternyata secara tidak sengaja ada yang menawarkan transportasi ke tempat khusus untuk menikmati terbitnya matahari. Biayanya 3500 kyat termasuk transport ke hotel.
Pilihan itu tidak salah. Suhu pagi itu lumayan dingin dan tidak berapa lama kami sudah berada di suatu kawasan di tepi danau dan ternyata sudah banyak orang di sana. Ufuk sudah mulai memerah dan matahari mulai bangun dari peraduannya.
Menikmati suasana surya terbit di Bagan.. |
Bagan adalah suatu kawasan yang dipelihara dunia UNICEF karena menyimpan warisan budaya luar biasa. Bayangkan, ada 2000 pagoda dan kuil tersebar, besar dan kecil di sebuah kawasan yang datar dengan luas sekitar 104 m². Ribuan wisatawan datang ke tempat ini akan terpesona melihat peninggalan kuil yang pada umumnya dibangun pada kisaran abad ke 11 ke 13. Awalnya ada 10.000 pagoda dan akibat terkikis oleh waktu sekarang hanya sekitar 2000 an.
Selama dua hari kami menyusuri Bagan dari saat matahari terbit hingga matahari terbenam. Pemandangan pada saat matahari terbenam tidak kalah spektakuler. Kami menikmati 2 kali sunset di atas kuil yang berbeda. Suasana terasa romantis dan tenang. Kami berkeliling dengan motor elektrik yang kami sewa dari hotel. Motor elektrik ini sangat ramah lingkungan dan harga sewa sangat terjangkau.
Dari Bagan kami menggunakan kereta api menuju Mandalay yang merupakan kota kedua terbesar di Myanmar. Kereta berangkat dari Bagan jam 7 pagi dan tiba di Mandalay sekitar jam 3 sore. Sepanjang jalan banyak hal yang menarik perhatian kami, seperti pemandangan landskap, ladang pertanian, pedesaan dan juga kita bisa melihat selintas tentang kehidupan masyarakat lokal.
Suasana romantis di Mandalay Hill |
Di Mandalay kami menyempatkan diri menyaksikan keindahan kota dari Mandalay Hill, sebuah kawasan perbukitan dipinggir kota ini. Disebut sebagai kota terindah di Myanmar, pemandangan dari Mandalay Hill sangat luar biasa, dan kami datang pada saat yang tepat - menjelang senja - ketika matahari akan terbenam dengan cahaya kemerahan luar biasa. Aku akan bercerita lebih rinci tentang Mandalay Hill pada bagian berikutnya.
Pagoda di puncak Mandalay Hill |
Suasana pagi di Jembatan U-Bein |
Nelayan melintasi Jembatan U-Bein. |
Waktu di Mandalay terasa singkat dan kami menutupnya dengan mengunjungi kompleks istana kerajaan yang menunjukkan kejayaan kerajaan pada masa lalu. The Mandalay Palace terletak di tengah kota Mandalay dan merupakan istana kerajaan dari monarki Burma yang terakhir. Sebenarnya istana ini adalah replika dari bangunan yang sudah hancur. Bangunan istana yang asli di bangun antara tahun 1857-1859, dan pernah dihuni oleh Raja Mindon dan Raja Thibaw yang merupakan dinasti yang terakhir kerajaan Burma. Penjajahan Inggris meruntuhkan kerajaan dan akhirnya istana hancur karena di bom pada perang dunia kedua.
Mandalay Palace |
Perjalanan ke Myanmar ini membawa banyak kenangan. Aku akan bercerita lebih detail tentang tempat-tempat yang kami kunjungi, dan tulisan ini akan membawaku kembali ke tempat-tempat indah itu.
Catatan singkat:
- Transportasi: kami menggunakan Airasia dari Bali dan stop over di Kuala Lumpur selama beberapa jam, dan dilanjutkan ke Yangon. Dari Yangon kami naik bus malam ke Bagan. Kami menggunakan kereta api dari Bagan ke Mandalay. Dari Mandalay kami pulang ke Bali dengan Airasia, lewat Bangkok.
- Makanan: kami sangat menikmati aneka makanan khas suku Shan, yang merupakan suku terbesar di Myanmar. Umumnya kami makan di restoran atau rumah makan dan menghindari makanan di pinggir jalan. Harga makanan relatif murah, sekitar Rp 80.000 - 200.000 untuk makan berdua.
- Transportasi dalam kota: di Yangon kami kemana mana naik taksi yang setiap kali naik harus menanyakan harga. Di Bagan kami menyewa motor elektrik dan di Mandalay kami menyewa taksi borongan dan ojek.